Jangan

 Plafon putih yang sama lagi. Lampu LED yang sepertinya juga perlu diganti. Berkedip selang sepuluh menit. Pemandangan yang selalu kulihat entah berapa lama. Aku sudah lupa. Atau memutuskan untuk lupa? 

Beranjak turun dari kasur yang sama putihnya dengan pencahayaan ruangan ini. Ah, lantainya dingin. Kakiku meraba ke kolong kasur. Berusaha mencari apa yang mereka inginkan. Sandal dalam ruangan. Lagi-lagi warna putih. Aku menghela napas ringan. Kulirik jendela berbingkai tirai putih dua lapis tersebut, ini bukan pagi hari. Di luar sana gelap. Gelap gulita, hanya ada gelap dan gelap yang menghampiri kalau kau kesana.


Tidak juga sebenarnya. Ada lampu temaram yang terlihat dari lantai nomor sebelas. Tempatku berada. Tidak hanya satu, tapi banyak. Aku bisa melihat kota dari atas sini. Mobil-mobil yang berjalan, pertokoan yang buka sampai tengah malam. Aku suka saat matahari sudah terbenam. Rasanya lebih tenang dan nyaman.


Aku memutar gagang kunci jendela dan mendorongnya pelan. Angin malam bertiup menerpa wajahku. Cukup dingin ya? Dibawah sini nampak lapangan baseball yang luas. Hijau terhampar jauh, lampu-lampu besarnya juga dinyalakan. Terlihat juga para serangga pemakan cahaya ikut meramaikan. Setiap malam terasa sama adanya. Namun kali ini sedikit berbeda rasanya. Aku belum pernah melihat dia.


Dia berdiri tepat di tengah lapangan. Tubuhnya tinggi tegap. Dan wajahnya tak bisa kulihat jelas. Terlalu tinggi kalau dilihat dari lantai sebelas. Tapi kulihat helai rambutnya perak menawan. Bagaimana bisa? Aku ingin tahu siapa dia. Apakah dia malaikat yang turun ke bumi? Gawat, dia menengadahkan kepalanya keatas. Tepat pada jendela kamar nomor seratus empat belas. Ruangan dimana aku berpijak sekarang. Takut-takut aku curi-curi pandang. Melongok ke bawah, dia melambaikan tangan kepadaku.


***

Siapa yang menyangka dia menghampiriku di malam berikutnya. Dengan setelan kemeja hitam dan jas yang hanya diletakkan di pundaknya. Dia tersenyum. Duduk diatas kasur putihku. Benar-benar sangat kontras dengan ruangan ini. Kecuali rambutnya itu. 


Aku yang kembali dari ruang makan jadi terperangah. Aku tidak salah lihat kan? Itu dia yang kemarin? Wajahnya rupawan. Persis ku tebaknya. Jadi salah tingkah sendiri, tergagap saat bertanya namanya. 


Dia tersenyum tipis lalu menyebutkan namanya pelan. Suaranya sedikit serak dan berat. Mungkin sebelumnya telah menenggak segelas pop ice coklat. Aku berjalan dengan sedikit ragu ke arah tempat tidurku. Masih bertanya-tanya dalam hati apa yang dia lakukan disini.


Aku berusaha melakukan basa-basi singkat. Toh, sudah lama juga aku tidak kedatangan tamu. Maksudku, tamu luar yang benar-benar baru. Bukan hanya sekedar beberapa anak yang kadang numpang makan atau sekedar tidur siang di sofa. Mengungsi dari kamar mereka yang pendingin ruangannya bermasalah. Ruanganku hanya lampunya yang agak disko. Tapi kadang-kadang saja sih. Untungnya tidak ada masalah lain. 


Kutanya ada keperluan apa dia kesini, apakah disuruh oleh dokter untuk memeriksa ku kali ini. Mungkin aku akan senang kalau yang melaksanakan pemeriksaan kesehatan rutin harian adalah orang ini. Dia menjawab singkat dan menanyakan kabarku. Tentu aku menjawab dengan senang hati. Kapan lagi kedatangan tamu tampan?


Hingga dokter masuk ke kamar seratus empat belas. Setelah ketukan dua kali, dia menerobos masuk. Aku bingung. Biasanya perawat yang datang. Wanita dengan setelan jas putih itu datang dengan raut muka murka. 


“Margharett.”


“Ya..?” Aku mencicit takut-takut.


Dokter yang punya kartu nama Arabella itu berjalan mendekat kepada kami. “Jangan bilang kau melewatkan jadwal minum obatmu lagi.”


Aku menelan ludahku kasar, mencoba berdalih. “A–aku lupa..”


Orang di hadapanku itu jadi menghela nafas panjang. “Kau tidak ingin sembuh ya? Sudah kubilang, walau suara berisik itu sudah pergi tapi kamu masih–”


Dia terdiam. Netranya menangkapku menelan beberapa pil obat dalam sekali teguk. Tentu dengan bantuan air. Bajuku jadi sedikit basah karenanya. Mataku sedikit berair. “Sudah, kan?”


Sepertinya dokter itu kehilangan kata-kata. Bingung juga dengan apa yang kulakukan barusan. Orang gila, pasti dia berpikir seperti itu. Dia berkata satu dua patah kata yang hanya transit sebentar dalam gendang telingaku lalu terbang entah kemana. Lalu akhirnya dia pergi, keluar, dan menutup pintu.


Aku menyungging senyum lebar. Ingin melirik lagi pada pria rupawan yang ada tepat di sebelahku. Tapi begitu cepat juga tarikan di ujung bibirku pudar. Dia menghilang. Kuraba-raba kasur yang tadi didudukinya. Tidak ada. Dia benar-benar pergi.


Persis setelahnya aku samar-samar mendengar percakapan para perawat dari balik pintu. 


“Anak itu bermasalah lagi.”


“Kenapa? Lupa minum obat lagi?”


“Bodoh.. aku takut skizofrenia-nya semakin parah..”


***

—Imperia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana

Mungkin