Berisik
Rasanya hari-hari berlalu dengan cepat. Aku tidak tahu mengapa aku merasa hidup ini sangat monoton. Apa karena kehidupan masa anak-anakku telah berlalu? Bukankah itu terlalu cepat? Aku baru berumur 14 tahun. Mengapa aku tidak sebahagia itu saat melangkah ke gerbang sekolah? Aku menyesal penasaran apa yang terjadi di masa depan. Semuanya menjadi menyebalkan sekarang. Apalagi harus bertemu geng itu. Aku paling benci itu.
Kaca jendela yang basah akibat hujan diluar menjadi dingin. Aku ingin tahu kapan ini selesai.
"Nora, perhatikan bukumu. Fokus!" Aku jadi terpaksa melihat lagi buku paket lusuh yang banyak sekali coretan hitam. Bahkan meja yang penuh kata-kata tak pantas.
"Dan jangan terus mencoret meja, Nora!" Seru gadis yang menggerai rambutnya jadi terkikik riang.
"Itukan perbuatan kalian!" Aku sudah muak. Cukup sampai sini, CUKUP! Aku segera menjejalkan berbagai barang yang ada di atas mejaku dan segera menutupnya. Menggendong tasku lalu menarik cepat pintu kelas. Suaranya berdebam kencang. Bahkan aku mendengar suara pak guru yang menjerit-jerit. Jangan berteriak dalam kelas lah, fokus lah, jangan membanting pintu lah. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Aku tidak mau dengar apapun lagi hingga keluar sekolah. Hujan turun dengan deras. Aku tidak peduli. Aku terus menerobos hujan. Berlari bersama pantofel hitam kesayanganku. Pemberian dari kakak, sebelum Ia pergi jauh merantau dan belum pernah kembali lagi. Bhayangkara, aku masih tidak tahu kenapa Ibu memberimu nama seperti itu.
Aku terus berjalan. Menyusuri pinggiran jalanan yang becek karena hujan ini. Aku sangat suka hujan. Hujan selalu membuatku tenang. Atau seperti kata orang-orang, ingin menangis di saat hujan. Agar tidak ada yang tahu. Aku melihat rerumputan basah. Disitu juga ada halte berwarna kuning. Tapi sepertinya saat tak hujan pun tetap tidak ramai. Karena sekolahku ini bukan di tengah kota yang sesak penduduk. Ya… jadi lebih tenang sih. Kalau orang yang memiliki masalah di kota bisa menginap sebentar disini untuk menjernihkan pikiran. Udara disini masih sejuk. Bisa juga untuk menyembuhkan masalah pernapasan karena polusi udara.
Aku berjongkok di halte itu. Menatap daun-daun basah. Bunga-bunga sepertinya menikmatinya. Aku ingin seperti ini terus. Saat masih asik dengan dedaunan, tiba-tiba aku melihat orang yang mendekat. Makin dekat. Kukira dia hanya lewat, tapi kenapa dia menuju kesini? Hingga yang kulihat hanya kakinya saja. Persis didepanku.
"Halo, apa benar ini Nora?" Aku mendongak ke atas dan melihat pria itu. Pria itu terlihat rapi berjas, rambut yang klimis, dan raut muka manis. Bahkan wangi harum melati menyeruak hidungku. Sudah cukup dengan gangguan di sekolah, aku hanya ingin pulang.
"Ada apa ya?" Aku menjawabnya sembari tersenyum letih. Semoga dia bukan orang jahat. Tunggu, apa dia malah yang seharusnya tidak bisa dilihat?
"Apa kau ingin ikut berjalan-jalan?" Kata pria itu. Aku mengernyitkan dahi. Dan menatapnya menyelidik
"Apa yang anda maksud?" Jawabku sambil berdiri dan melangkah ke belakang 4 langkah. Menginjak genangan air jalanan yang berlubang.
"Kau ingin tahu kenapa mereka berbuat seperti itu kepadamu?" Pria itu masih di tempatnya. Berdiri tenang di bawah payung penangkal air hujan untuk merembes membasahi jasnya itu.
"Lalu yang membuat mereka begitu?" Aku tambah mengernyit dengan pertanyaan ini. "Kau penguntit?" Tapi penampilannya kelewat rapih jika dia seorang penguntit.
"Apa maksudmu?" Ia tertawa. "Bukan, ya. kau akan aman bersamaku." Aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak tapi dia aneh. Aku yang selama ini tidak mempunyai teman merasa mudah sekali terbujuk kata-kata manis seperti ini.
"Mereka menggangguku. Menyebalkan sekali. Aku tidak suka mereka." Ujarku bersamaan dengan terlemparnya kerikil basah ke aspal. Saat itu juga mobil melaju di jalan. Yang membuat rambut dan pakaianku lebih basah dari sebelumnya. "Yang benar saja." Aku mengusap wajahku. Menyebalkan sekali. Apakah ini tindakan yang baik? Apakah ibu akan marah kalau aku mengumpat?
"Tapi kau tidak aman dari cipratan air.” Ia mencoba bergurau sepertinya. “Mereka memang orang-orang bodoh." Ia berkata begitu sembari mengulurkan tangannya padaku. Menatap lurus-lurus kearahku.
"Aku tidak mau ditindas orang bodoh." Aku menerima uluran tangannya dengan sedikit terisak. Menyedihkan sekali.
"Jadi? Kau harus tunjukkan kalau kau lebih pintar dari mereka, lebih hebat dari mereka, lebih segalanya dari mereka," jelas pria itu. Ia menjentikkan jarinya. Sekarang kita ada di tempat yang berbeda. Seperti ruangan balok yang berwarna monoton. Aku juga sudah kering dan duduk di kursi kerja berwarna hitam.
"Oh ya? Apakah aku bisa melakukannya?"
"Tidak." Pria itu menyeringai. Menatapku seperti tatapan mengejek. "Kalau kau tidak berusaha." Ia kembali tersenyum.
"Usaha apa yang harus kulakukan?" Aku kembali bertanya. Membuat tampang penasaran. Tapi sebenarnya sedikit pasrah juga dengan apa yang terjadi. Apapun caranya pasti tidak mudah.
"Berpikirlah. Menurutmu apa yang harus kau lakukan sekarang? Jangan pernah mengandalkan orang terus-terusan hanya karena Ia menjanjikan keamanan. Memangnya kamu benar-benar percaya aku adalah orang baik?”
Aku terdiam. Rasanya dia tidak asing untukku.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Benarkah? Aku senang kamu masih mengingatku.” Aku tidak bisa melihat wajahnya lagi. Dia sudah memalingkan muka ke arah jendela luar. Apa sih yang dia pikirkan.
"Tujuanku disini membawamu itu untuk meneliti tentang perilaku manusia. Mari kuantar. Dia sepertinya memindahkan ruangan balok ini. Dia juga membuka temboknya. Ini apa sebenarnya?
"Nah, kita bisa melihat dengan leluasa. Di bawah sana, adalah kehidupan orang-orang di tahun 2070. Saat dimana mereka sudah 93% dikendalikan oleh robot.
Dia juga memperlihatkan orang-orang yang sudah tidak menggerakkan kakinya lagi dengan teropong canggih yang bisa di-zoom hingga 1000 kali lipat. Mereka semua menggunakan kursi yang melayang dan bisa bergeser di jalanan sekalipun?
"Menurutmu apa yang membuat mereka kehilangan kemampuan analisis, ketelitian, kreativitas, dan perubahan sifat yang drastis?" Ujarnya sembari menyeringai. Menatapku dengan mata hitamnya yang terasa seakan menusuk wajahku. Walau begitu Ia terus-terusan tersenyum.
Aku tertawa. Tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutku. "HAHAHA! Yang benar saja? Kau, bertanya itu?" Benar-benar lucu. "Lihatlah, mereka tidak mau belajar dari kesalahan. Menjadi pemalas karena mereka menginginkan semuanya menjadi instan." Aku mengalihkan pandanganku ke bawah perkotaan. Mengambil teropong canggih yang sedaritadi sudah ditanganku lagi.
"Aku yakin peradaban manusia akan hilang kalau hal ini tetap berlanjut." Aku balik menyeringai.
"Alasan mereka kehilangan kemampuan tersebut dikarenakan banyak faktor sebenarnya. Generasi ini, mendapat banyak hal yang praktis sejak dini. Yah, memang ternyata penggunaan gawai instan sejak dini itu tidak dianjurkan, atau malah jangan sama sekali. Karena akan memberikan dampak ketergantungan manusia pada gawai sampai seterusnya." Aku menurunkan teropong itu dari wajahku. "Miris sekali bukan?"
Wajah pria itu terlihat puas dengan jawaban yang kuberikan. "Hmm, jadi? Apa kau punya solusi dari permasalahan ini, Syale Nora Erlangga?"
"Yah, teknologi memang semakin maju. Tapi justru itu, kita seperti membunuh diri sendiri." Aku terdiam sejenak. Berjalan mendekati ujung marmer itu dan menunduk kebawah. “Karena masalah awalnya karena pemakaian gawai sejak dini, mungkin kita bisa membatasi pemakaian gawai untuk anak-anak sekolah dasar dan menengah.” Di bawah sana terang benderang karena lampu neon yang bertebaran dimana-mana. Aku jadi ingin lihat lebih dekat. “Lalu kita juga bisa membiasakan literasi sejak anak masih sangat kecil, bahkan anjurkan saja saat masih dalam kandungan pun tetap dibacakan cerita. Hal ini juga dapat menambah kreativitas anak.” Keheningan tercipta sejenak. Kerlap-kerlip malam sangat indah. Walaupun yang kulihat bukan bintang dilangit, tapi hiruk-pikuk kota terlihat menarik juga.
"Mau coba melompat?" Pria itu menawarkan sebuah kantong persegi seperti ukuran kantong jas hujan. Aku melihat wajahnya sejenak dengan menyangsi, apalagi yang dia rencanakan kali ini? Aku menerima kantong itu dan berusaha untuk membukanya.
"Tidak perlu dibuka, Syale. tempelkan saja di punggung, nanti akan bekerja sendiri." Aku tidak tahu apa yang Ia bicarakan. Terdengar tidak masuk akal, tetapi aku tetap melakukan perintahnya. Setelah itu aku mengernyit.
"Bagaimana kau tahu nama panggilan masa kecilku?" Tetapi bahkan tidak sampai sedetik setelahnya aku telah terjun bebas di tengah kota Yogrekata.
"Terimakasih untuk semua pendapat yang telah kau berikan, sayangnya pemikiran kritis ini harus ditunda di fisikmu dalam beberapa tahun kedepan. Kau, Syale Nora Erlangga. Akan kembali di tahun 2017 dengan pribadi umur 14 tahun. Kita pasti akan bertemu lagi… secepatnya."
***
-Imperia
Komentar
Posting Komentar