Sleep Tight
"Di lutut lagi? Ini sudah yang kesekian kalinya.” Pria yang ada di hadapanku itu geleng-geleng kepala. Ini bukan pertama kalinya dia mengoleskan salep untuk memar untukku. Selain lutut, pundak dan tanganku juga nyeri. Tapi ini semua akan terbayar setelah pentas besar nanti.
“Kau sendiri bagaimana?”
Pertanyaan ini membuatnya mendengus pelan. “Apanya yang bagaimana? Yang jelas aku tidak pernah terluka karena pekerjaanku.” Diam sejenak. “Kefatalan paling besar hanya tergores kertas di ujung jari.”
Aku mengedarkan pandangan. Ada benarnya juga dia.
“Kau masih bekerja sekarang?”
“Tidak, kami tutup jam delapan malam. Ruang belajar bukan dikelola olehku.” Balasnya sembari berdiri dan merapikan kotak barang-barang kesehatan khusus yang dibelinya untukku.
Aku manggut-manggut. Lalu berpikir. “Apa maksudnya dengan kami?”
“Tentu saja aku, dan para rak buku. Mereka juga dihitung.” Dia menghela napas. Sepertinya lelah juga mengobatiku hampir setiap malam. Manik matanya redup, walau memang seperti itu bahkan di pagi hari. Dia punya iris mata biru gelap bak batu safir. Cantik. “Bisa berdiri?”
Konyol, padahal aku jalan kesini sendirian. Tentu saja bisa. “Tidak bisa~ aku capek sekali~ gendong aku dong, tampan.” Aku berakting menggelikan demi melihat pipinya bersemu merah jambu. Ini pemandangan yang sepadan.
“Ah.. kau kan tahu aku bahkan lebih lemah darimu.”
“Jadi kau mau aku yang gendong?” Kulirik lagi wajah manisnya yang masih malu-malu. “Ke kamarmu?”
Aku jadi dapat cubitan di pipi karenanya. “Hentikan itu, bicaramu sembarangan.”
Kupeluk pinggangnya segera. Wewangian yang dipakainya itu jadi menyapa hidungku. “Apa sih yang kau pakai ini.”
“Huh, parfumku?”
“Kau sebut ini parfum? Psikopat.”
Dia mengendus bahunya sendiri. “Tidak ada yang salah kok.”
“Bau pohon berkayu seperti ini kau sebut parfum?” Kubenamkan lagi wajahku di bajunya. Dia seperti hutan berjalan. Dirasa-rasa dia sungguh kurus. Membuat pinggangnya terasa kecil di antara kedua lenganku. Tapi tidak separah itu sampai tulang rusuknya bisa kurasa.
Ah, ternyata dari tadi dia diam seribu bahasa karena dipeluk. “Kenapa? Terkejut?” Masih diam. “Aku takut kau tiba-tiba sakit jantung karena terlalu syok.”
Kulirik lagi wajahnya. Kaku. Aku jadi terkekeh. “Jadi ke kamarmu atau tidak?”
Dia akhirnya berdeham pelan. Setuju. Aku jadi bilang yes dalam hati.
Kami berdua berjalan beriringan menuju ruangannya. Sesekali aku tersandung tumpukan kardus di sudut ruangan. Dia baru saja dapat stok buku baru dan belum dirapikan. Sesekali juga Ia jadi menangkapku yang hampir jatuh.
Dia langsung menyalakan saklar lampu begitu kita sampai. Aku segera izin berganti pakaian terlebih dahulu. Dia mengangguk. Pintu kamar mandi ditutup, tapi aku tahu dia di luar diam-diam tetap mengawasiku lewat suara. Sepertinya dia begitu khawatir setelah melihat memar-memar yang ada di tubuhku. Aku pakai piyama panjang warna biru muda. Simpel saja. Aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan wajah.
Ia sedang membaca buku di sofa. “Sudah selesai?”
Aku mengangguk, lalu menguap. “Aku tidak ingin pulang.”
Pria itu diam. Dia tidak banyak bertanya. “Lantas, kau mau tidur dimana malam ini?”
“Bolehkah disini?”
Sejenak setelah mendengar hal itu, tangannya bergerak ke dalam lemari lalu mengeluarkan futon dan bantal. Dua-duanya putih bersih terawat.
“Kau tidur saja di kasur. Aku akan tidur di bawah.”
Aku terkejut. “Mana boleh, kau kan–”
“Shh, nanti nyeri-nyeri badanmu tak kunjung sembuh kalau tidur di lantai.”
“Apa sungguh tak apa?” Aku ragu-ragu berjalan mendekati kasur miliknya.
“Tidurlah. Pakai juga selimutnya, kalau malam dingin.” Ia lalu melirik rambutku yang masih diikat buntal dua.
“Sebentar.” Jemarinya cekatan melepas ikat rambutku. Membuat helaian pirang milikku jatuh terurai ke bahu. Perlahan dia menyisirnya lembut sembari duduk di sebelahku. Sisir kayu miliknya seperti menghipnotisku agar segera tidur. Sepertinya pria ini juga menyadarinya. Jadi Ia cekatan merampungkan urusannya dengan rambutku dan merebahkan diriku di kasur. Tidak butuh waktu lama untukku tahu itu benar-benar kasur kepunyaan Tooru. Wewangian yang Ia kenakan menempel disini. Diriku juga Ia kubur dengan selimut. Menyisakan wajahku. Yang selanjutnya Ia segera minggat ke kasur futon di bawah.
“...Tooru.”
“Apa?” Balasnya pelan.
“Kenapa tidak tidur bersama saja?”
“Lucy… Ah, sungguh aku bisa gila karenamu.”
—HysteriasSou
Komentar
Posting Komentar