Bahagia

 Jadi?

Apa itu kebahagiaan? 

Kapan kita akan tahu jawabannya? 

Kenapa kita bisa bahagia?

Apa kamu bahagia? 

***

   "Menurutku itu rasa senang? Tidak.. itu lebih dari itu. Bahagia adalah perasaan yang rumit untuk dijelaskan." Ujarnya, sesaat sebelum makanan kami datang. 

   "Oh ya, terimakasih." Aku mengangguk kepada penjual batagor yang datang mengantarkan 2 piring kami. 

   "Intinya kamu berpikir bahwa bahagia hanya buncahan rasa senang? Apakah itu terjadi sementara atau selamanya?"

Ia mengernyit. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Dia menyendok makanannya ke mulutnya. "Makan dulu saja." Ia mulai mengunyah.

Aku sedikit kesal karena tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Aku menatap geram bola mata hitamnya yang tertutup surai hitam kecoklatan miliknya. Benar-benar deh. Kupikir dia harus potong rambut segera. Dia bisa mencolok matanya sendiri dengan poni sepanjang itu. Aku sebenarnya tetap menikmati makananku dengan sumringah. Batagornya enak, aku bisa merekomendasikannya kepada Mama nanti. Saus kacangnya juga enak, apalagi ditambah sambal ulek. Oh, pangsitnya juga sangat renyah! Aku suka semua hal tentang batagor ini.


   Teh dingin di siang hari itu bisa jadi bencana untuk tenggorokanku. Tapi siapa tau? Ayo uji keberuntunganku hari ini. Aku meminumnya sedikit. Dan beranjak berdiri.

   "Piringnya saya taruh disini ya." Kataku sambil menunjuk ember hitam cucian piring. Lalu aku melenggang menuju kelas setelah membayar, meninggalkan Dipta yang masih makan di belakang. Salah sendiri, siapa suruh makan batagornya lama begitu. Aku melewati koridor sekolah. Semua temboknya putih dengan banyak jendela dan pintu. Beberapa sudut juga ada yang diberi pot tanaman. Aku paling suka kelas dengan pencahayaan sang surya. Bukan dengan lampu bohlam yang menempel di langit-langit, tahun ini aku sedikit sial.


   Saat sudah sampai di depan kelas, seseorang tiba-tiba memegang lenganku. Aku refleks mengalihkan pandanganku ke samping. "Cantika?" 

Dia terlihat cemas. "Ayo cepat masuk kelas!" Ia langsung menarikku ke dalam kelas kami. "Kamu mungkin tidak akan percaya… aku dikuntit."

   "Kamu dikuntit? Ini serius?" Aku terbelalak kaget. Wajahku memasang tampang setengah tak percaya. Bagaimana bisa? Aku jarang sekali melihat kasus penguntit di dunia nyata. Maksudku, yang benar-benar kulihat dengan mataku sendiri. Biasanya hanya kutemukan di game, novel, atau berita saja. Tapi ini, gadis 16 tahun yang kukenal dikuntit?

   "Aku serius, Syal. Kupikir itu hanya perasaanku, tapi ternyata aku mulai merasa aku terus diikuti oleh orang yang sama." Katanya sambil terus memegangi tanganku.

   "Bagaimana kamu bisa tahu dia orang yang sama?"

   "Dari postur tubuh dan cara berjalannya. Bahkan aroma yang dia punya!" Cantika bergidik ngeri. 

Hm… Cantika tak kalah mengerikan, jarang sekali orang yang bisa mengingat aroma seseorang dalam sekelebat masa. "Dia memangnya mengikutimu sampai kemana?" Aku ikut cemas mendengar hal ini.

   "Dia hampir masuk ke kawasan kosan ku. Apa sebaiknya aku pindah?" Cantika menyewa bilik kos yang ada di dekat sekolah. Keluarganya jauh dari sini. Ia pernah cerita, bahwa keluarganya membuatnya muak. Setiap hari yang Ia dengar adalah jeritan dan sesuatu yang terlempar lalu pecah berkeping.

   "Kamu mau pindah kemana?" Dia jadi terdiam setelah mendengar ucapanku. "Mungkin… kamu bisa mengungsi ke rumahku untuk sementara?" Ide gila macam apa ini. Aku bahkan belum bertanya pada Mama.

   "Apa tidak apa-apa? Tidak akan membahayakan keluargamu kan?" Cantika harap-harap cemas dengan tawaran ini.

   "Ya, kita juga harus lapor polisi tentang ini." Aku pikir kenalan Papa bisa membantuku untuk ini. Seharusnya Dipta berguna juga kali ini.

   "Tapi, Syale. Aku belum punya bukti untuk laporan…" 

Argh! Menyebalkan. Aku jadi tambah bingung harus melakukan apa. "Kau harus bersabar, kita juga harus mengumpulkan bukti selagi bisa."

   "Apa kita akan pakai kamera dan mikrofon tersembunyi?" 

   "Tidak, itu sedikit sulit dilakukan karena kita tidak tahu kapan dia datang, juga berbahaya. Bagaimana kalau kau tertangkap? Aku punya pilihan yang lebih baik daripada itu."

Cantika mengerjap. Kembali menaikkan dagunya dan bertanya, "Apa pilihan itu?"

Aku tersenyum. "Kita bisa menyewa orang untuk mengumpulkan bukti."

   "Astaga, berapa uang jajanmu, Syale?"

Aku tertawa kecil. "Mempunyai banyak relasi itu mempermudah suatu rencana, kau tau?" Aku meminum kembali teh yang esnya sudah seperempat meleleh. "Kenalan ayahku harusnya bisa membantu. Kebetulan anaknya adalah teman sekaligus tetanggaku."

***

   "Banyak bukti yang sudah terkumpul. Tetapi melacak pergerakan penguntit itu cukup sulit. Dia terus berpindah-pindah tempat untuk tidur." Dipta berucap sembari melihat tabletnya yang berisi data-data yang didapatkan mengenai penguntit itu.

   "Lalu apa yang harus kita lakukan?" Aku mengusap-usap punggung tanganku dengan telapak tangan yang satunya.

   “Sebenarnya aku mencurigai Arion, anak kelas 10 yang dua minggu ini dia menjadi lebih terang-terangan untuk menyatakan perasaannya lagi padaku. Aku juga seperti terus-terusan melihatnya di setiap sudut sekolah.” Ujar Cantika.

   “Apa? Seharusnya kau bilang dari tadi!” Dipta terlihat sedikit murka karenanya. Kita sudah tidak punya waktu untuk mencari tahu tentang Arion. Dipta terdiam sejenak. "Dengar, aku tahu ini gila. Tapi bagaimana kalau kita memancingnya keluar dengan Cantika?"

   "Apa maksudmu?" Cantika memotong perkataan Dipta.

   "Cantika akan pergi ke supermarket yang dekat tempat dimana orang itu sering muncul."

   "Kalau sudah tau tempat Ia sering muncul, kenapa tidak langsung ditangkap saja?" Kali ini aku jadi yang memotong perkataannya.

   "Kemungkinan kita bisa menangkapnya saat itu juga kalau ada Cantika persentasenya lebih besar. Lagipula ternyata penguntit itu adalah orang yang baru lulus SMP." Jawab Dipta. Benar-benar deh. Aku tidak tahu lagi pemikiran orang-orang seperti ini. Bukannya malah fokus belajar tapi malah melakukan hal-hal yang tidak perlu.

   "Tangkap saja Arion saat di sekolah! Lalu kau gila ya? Bagaimana kalau aku diculik paksa?!"

   “Hei, tenang dulu. Kita belum tahu pasti dengan tujuan Arion yang sebenarnya. Jangan asal tuduh, Can!” Seruku yang berusaha memadamkan atmosfer yang mulai memanas ini.

   "Kita bisa lihat langsung identitas sebenarnya dari penguntit itu kalau menangkapnya. Yang penting jangan sampai tertangkap saja.” Dipta terlihat santai.

   "Ya sudahlah, kapan kita akan memulai rencana ini?" Tanya Cantika yang sudah pasrah dengan rencana gila Dipta.

   "Besok malam." Kami berdua terkejut mendengar perkataan Dipta.

   "Besok malam?" Aku memastikan pendengaranku.

   "Lebih cepat lebih baik." Jawab Dipta. Sekarang aku paham betul kalau dia memang benar-benar gila.

***

   Siapa yang menyangka kalau dia akan semarah itu? Dia bahkan membawa pisau yang awalnya disembunyikan dalam saku hoodienya untuk memburu Dipta. Hei, ini semua cuma gara-gara Dipta yang tengah mengobrol dengan Cantika? Adegan itu memang disengaja untuk memancingnya keluar. Tetapi aku tidak menyangka dia akan mengejar kami!

   "Sumpah deh, orang itu sekarang makin menggila!" Cantika terus berlari tak peduli jatuh bangun karena tersandung bebatuan. "Menjauhlah dari kami dasar sintiiiing!!" 

Kami terus berlari tanpa arah. Aku juga terlalu panik untuk menyalakan maps digital. Dipta yang ada di samping kami berusaha menyalakan ponselnya sambil berlari. "Pegangi tanganku, cepat!" 

Aku akhirnya memegangi tangan kirinya. Aku terus melanjutkan berlari. Pinggangku sudah sakit sekali. Sekujur tubuhku terasa banjir oleh keringat dingin. Tapi mau tidak mau kita harus terus berlari. Karena pilihannya hanya dua, lari atau mati di tempat. Ini sepertinya trek lari tercepatku semenjak aku lahir di dunia. Kami terus melewati gang-gang kecil. Aku bahkan tidak mengenali tempat ini. Banyak juga pohon-pohon besar yang kami lewati. Membuat suasana menjadi lebih menegangkan. Tapi daripada itu kami lebih takut dengan orang yang sedang mengejar kami! 

   "Kiri, sepertinya dia sedikit tertinggal. Ini kesempatan kita." Dipta mengarahkan kami. Aku sudah mulai melambat. Pandanganku juga kabur. Aku mendongak ke atas dan melihat langit pun tidak menunjukkan satupun bintangnya. Sebaliknya, awan-awan berkerumun di dekat bulan. Membuat penerangan menjadi lebih minim lagi. Aku terengah. Kapan ini berakhir? 


   Para polisi berusaha mengepung penguntit itu. Tetapi kami tetap berlari untuk menuju kumpulan mobil para polisi. Ugh, aku mual. Berlari bersama rasa panik itu sangat tidak enak. Aku mencoba memendam rasa itu dalam-dalam dan mencoba menarik nafas agar rileks. Aku merasa sedikit tenang. Akhirnya kami terus berjalan menyusuri gang-gang ini. Sampai suara sirine merah biru itu terdengar nyaring di telinga kami. Apakah ini sudah berakhir?

   Penguntit itu telah ditangkap oleh orang-orang dari kepolisian. Ia tampak mengerang hebat dan mencoba melepaskan diri dari petugas yang memegangi tangannya yang telah diborgol. Pada akhirnya dia dilumpuhkan dan lututnya terlipat lemas. Saat itu juga rintik hujan turun dari langit kelabu. Polisi sedang mengepak kembali barang-barang yang Ia bawa sebagai bukti. 

   "Apa alasanmu melakukan ini?" Aku lelah sekali malam ini, dengan Dipta memegangi lenganku aku nekat bertanya. 

Dia mendongak keatas. Menatap mataku dengan jelas. "Dengan kecantikannya, siapa sih yang tidak terobsesi dengannya? Aku akan sangat bahagia kalau memilikinya." Jawabnya yang disusul dengan kikikan.

   "Bukan begitu caranya bahagia, apa kau tidak pernah berpikir bahwa dia jijik dengan tingkahmu ini?"

   "Dia… tidak menyukaiku?" Raut wajahnya berubah muram. Lagaknya seperti tidak percaya.

   "Tidak dan tidak akan pernah. Kau orang yang paling menyedihkan yang pernah hidup. Kalau hidup hanya untuk menyusahkan orang lain lebih baik mati saja!" Ujar Cantika yang sudah berdiri di sampingku. Telak sudah kata-kata itu menusuk hatinya. 

   "Seharusnya aku tau dari awal. Lalu apa maksudmu saat membantuku di halte saat itu? Bahkan kau tersenyum untukku!" Dia menghembuskan nafas berat. Hujan juga turun semakin deras. Membuat suaranya tenggelam bersama jatuhnya air ke bumi.

   "Itu namanya berbuat baik, bukan berarti orang yang membantumu itu mencintaimu, bodoh. Semoga kau bersenang-senang–eh, maksudku menderita di penjara." Ucap Cantika yang kini balik menertawakan dengan membelakanginya. Suaranya terdengar samar. Mungkin menurut orang itu, Ia adalah gadis paling cantik yang pernah dia lihat. Wajahnya seperti telah melihat bidadari yang turun ke bumi. Ia terpukau. Melihat kecantikannya di tengah derasnya hujan dengan menghiraukan semua cemooh yang terlontar dari mulut pedas Cantika.

***

   “Maaf, Arion.” Cantika terlihat enggan untuk mengatakannya.

   “Maaf karena apa? Karena tidak menerima cintaku ya?” Arion berniat bergurau di depan gebetannya itu. Tetapi setelah melihat raut mukanya, Ia jadi diam seribu kata layaknya tikus mati.

   “Intinya aku minta maaf.” Setelah itu Cantika langsung membalik badan dan pergi dengan menggandeng tanganku. Yah, kabar baiknya penguntit itu bukan Arion. Jadi kita tidak perlu cemas berlebihan lagi soal kasus ini. Tapi… apa benar ini hanya berakhir disini?


[imperia]







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan

Iya Atau Tidak