VEIN [01-nrv]
“Astaga, Heinry! Jangan berlari!” Dengan tertatih dan menjinjing gaunnya. Berlari di padang rumput yang penuh dengan bunga dandelion. Langit biru cerah terpampang jelas di atas sana. Awan tipis yang tertiup angin sepoi-sepoi mulai bergerak malas dari tempatnya.
“Ahahaha, Nona! tangkap aku kalau bisa!” Sambil tertawa dia tetap berlari. Avery kesusahan untuk menangkapnya. Tak lama kemudian ia terjerembab ke rumput yang masih ditempeli embun pagi. Membuat wajahnya lembab karenanya. Heinry menyadarinya dan membantunya berdiri.
“Maafkan aku Nona, ayo kembali dan minum teh.” Heinry tersenyum.
“Dasar merepotkan, bajuku kotor tau. Kalau bukan disuruh oleh Ibu aku tidak mau mengejarmu. Lagipula untuk apa.” Tukas Avery kesal sembari menepuk-nepuk rok indahnya.
“Sekali lagi saya minta maaf. Lagipula kau hanya seorang earl kecil. Mengomel saja sesukamu.” Viscount kecil ini jahil sekali.
“Diam kau viscount sinting, sadarilah tempatmu sekarang,” ujar Avery dengan menatap sinis ke arah Heinry. Kedudukan keluarga earl lebih tinggi dari viscount. Nona setan cilik. Dia sangat pintar memanfaatkan keadaan.
Nona Earl yang kesal kembali menjinjing roknya dan pergi meninggalkan Tuan Viscount dengan geram. Mungkin es krim vanilla di musim panas ini bisa memperbaiki suasana hatinya. Heinry, Tuan muda Viscount dari Nyonya Viscountess Amaris dan Tuan Viscount Philips. Berambut merah dengan tanduk putih gading diatas kepalanya. Bola matanya yang berwarna oranye serasi dengan senyum manisnya yang hangat. Berbeda dengan Nona muda Earl, Avery Vassiliki. yang mempunyai mata hitam dan rambut kelabu. Sang matahari dan bulan. Julukan yang cocok untuk mereka berdua.
Heinry meraih cangkir tehnya. Menuangkan teh untuk dirinya dan Avery. Memasukan satu kotak gula kedalam cangkirnya dan dicampur oleh madu. Avery melakukan hal yang sama.
“Pertama kali, Nona?” Heinry tersenyum. Menyodorkan roti panggang dengan selai blueberry di atas piring kecil berbordir ukiran bunga lili.
"Padahal aku ingin es krim, ya sudahlah." Tapi aku mengambil juga roti itu. Heinry tertawa kecil. Aku mengindahkannya dan memilih melihat ikan yang berenang di sungai itu. Arusnya tidak terlalu kencang. Jernih sekali. Suara gemericik air terhantam batu. Angin semilir menerpa rambut sebahuku sesekali. Jamuan pun habis. Heinry berdiri dan merapikan karpetnya. Aku memasukkan gelas dan piring ke dalam keranjang. Menentengnya sampai masuk ke rumah.
"Ya ampun, Nona. Saya bisa membantu anda kalau Nona memanggil tadi." Ucap salah satu pelayan.
"Tidak apa-apa ini tidak berat, terimakasih." Balasku. Pelayan itu mengangguk. Aku selalu suka piknik, anggap saja ini bayarannya. Aku berjalan ke dapur dan menaruh keranjangnya disitu. Aku mulai melangkah kembali ke kamar. Aku tidak melakukan apa-apa tapi lelah rasanya. Membanting buku matematika ke bantal yang tergeletak diatas meja dan mengerjakan soal latihan di bagian terakhir bagiannya menggunakan pensil grafit. Mencoret kasar kertas coklat muda buku tulisku. Berharap besok aku mendapat hasil memuaskan. Tak terasa waktu berjalan dan aku pun.. terlelap.
Hari-hari ku berjalan berputar. Heinry sesekali berkunjung. Berceloteh ria yang kadang membuat pekak telinga. Mengajak piknik di atas bukit. Atau bahkan mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Namun, beberapa tahun kemudian Heinry jatuh sakit. Konon katanya penyakitnya hanya bisa disembuhkan dengan bunga penyembuh yang didapatkan di tengah hutan Negara Oriana. Demi kesembuhan Heinry, aku ingin pergi untuk mencari bunga tersebut. Ini bisa jadi langkah baru di hidupku yang monoton.
***
“Tubuhmu sangat panas, Heinry. Makan yang benar dan minum obatmu. Cepatlah sembuh, kamu sudah berbaring sejak 1 bulan lalu, apa kamu tidak bosan?”
“Avery.. maafkan aku, kamu tidak harus pergi, aku bisa menyuruh pelayan untuk melakukannya.” Heinry tersenyum.
“Tidak apa, dulu Tuan Viscount yang hebat ini juga pernah menyelamatkanku, mungkin sekarang giliranku.” Aku menggenggam tangannya kuat-kuat.
Heinry tertawa kecil. “Kalau begini sepertinya tanganku bisa putus duluan, Nona.”
Aku jadi mengendorkan peganganku.
“Yah pokoknya aku akan pergi besok pagi. Jaga dirimu, Heinry.”
Heinry membalasku dengan tersenyum. Sekali lagi. Aku melirik mata merahnya yang sayu. Mata itu kini tidak secemerlang dulu. Kulitnya yang cerah juga mulai memudar. Oh, Tuan Matahari. Ini tidak boleh terjadi!
***
Pintu itu berderit saat dibuka. Keset yang berdebu menyambutku di depan pintu. Membuat keset sedikit bengkok karenanya. Ruangan itu luas.
“Hhk, sudah berapa lama ibu tidak menggunakan pintu ini? bahkan kesetnya sampai tak pernah diganti!” Ujarku dengan terbatuk.
“Ibu lebih suka lewat rumah kaca,” katanya dengan tersenyum menatap ke arahku. “Kau mau kue?”
Aku meraih kue diatas piring besar yang berada di tangan Ibu. Selai bluberi. Favoritku. Aku beranjak duduk di hadapan ibu. Rumah kaca yang besar ada di sebelah kananku. Sinar matahari yang menerobos masuk membuat ruang kerja Ibu terasa hangat. Aku mulai memotong kue itu dan memakannya perlahan. Sekarang aku tahu kenapa Ibu lebih suka masuk dari sini dibanding pintu reyot tadi. Bunga mawar merah beserta duri dan daunnya yang hijau sangat memikat mata. Apalagi dengan bougenville yang berwarna-warni. Juga dengan geranium yang berada di pinggir kolam ikan mas. Anggrek bulan kesayangan Ibu… ternyata masih tumbuh dengan cantik seperti hari dimana Ibu pertama kali membelinya.
“Ibu, apakah ibu mengizinkan aku untuk pergi mencari obat untuk Heinry?”
Ibu terdiam sejenak lalu menaruh cangkir tehnya kembali ke piring.
“Oh, Ery-ku... kemana kau akan pergi? Tapi memang sudah waktunya untukmu pergi jauh. Apalagi di umurmu yang sekarang,” wajahnya sedikit sedih namun antusias sekaligus.
Malam itu, aku mulai mengepak barang-barang. Tas yang sesak dijejali barang disana-sini.
Lalu menaruh barang-barang yang kubawa besok di pojok ruangan. Beranjak tidur. Ini sudah larut malam. Aku harus berangkat sebelum fajar. Aku tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat dan antusias untuk besok. Tapi aku harus tidur agar punya energi, aku akan berjalan jauh. Aku tertidur, dalam rasa gelisah, penasaran, dan takut. Semuanya bercampur aduk…
***
Jam berapa ini? Ruangan kamar remang-remang. Suara jangkrik terdengar jelas. Mataku kupaksakan terbuka. Malam? Ini sepertinya sudah pagi buta. Membawa tas ransel yang kusiapkan semalam, aku berangkat. Aku mengganti piyamaku dengan baju gelap panjang. Aku memakai jubah hitam juga agar dapat sembunyi kalau ada sesuatu. Meninggalkan catatan kecil diatas meja untuk siapapun yang melihatnya. Aku melompat dari jendela setelah memakai sepatu yang kusembunyikan di bawah kasur.
Aroma rumput basah sangat menyengat, menyeruak masuk ke dalam hidungku. Ah, gerimis. Aku menyalakan korek api dan segera memasukkannya kedalam lentera. Menutup tudung jubah dan pergi meninggalkan rumah. Aku sudah membawa sejumlah koin emas untuk bertahan hidup. Tapak kaki terdengar bersamaan dengan titik air yang jatuh. Udara dingin yang mencekam berhembus. Wajahku terkena tampias hujan. Memegangi kompas bundar di tangan. Mengikuti arah jarum kompas yang menusuk ke arah timur. Tujuanku adalah stasiun yang membawaku ke pelabuhan. Orania adalah negeri maritim beriklim tropis. Rata-rata suhu di sana sekitar 27-28 derajat. Sebaiknya tidak membawa banyak baju tebal.
Tanah saat hujan sangat licin, membuat mudah tergelincir. Tidak, ini bukan tergelincir. Ini lebih parah daripada itu.
Lumpur hisap!
Tanpa aku sadari lumpurnya sudah menghisapku sampai lutut. Apa-apaan? aku baru saja meninggalkan rumah dan terjebak di sini. Aku berusaha untuk keluar. Tapi sekeras apapun usahaku malah membuatku terperosok lebih dalam. Keadaan hutan sedikit berkabut. Namun sekilas aku melihat ada bayangan yang mengarah kepadaku. Hah? siapa itu? mengerikan. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini. Dia membawa sesuatu di tangannya!
“Astaga, jangan panik. Kalau panik kau bisa membuatnya menarikmu lebih cepat! Pegangan! aku akan menariknya.”
Aku menengadah keatas dan melihat kancil? dia membawa ranting besar dan menarikku ke atas.
"Kamu tidak seharusnya pergi saat cuaca seperti ini." Sang kancil membantuku berdiri.
"Maaf, aku ingin pergi ke stasiun secepatnya." Aku menjawab serabutan.
"Apakah tujuanmu Negeri Orania?"
Aku terdiam. Bagaimana dia tau?
"Ah, kebetulan tebakanmu sepertinya tepat."
"Tebakanku selalu benar. Itu juga tempat yang ingin kutuju, bagaimana kalau kita pergi bersama? Semoga kamu tidak keberatan." Aku tidak menjawab apapun. Sang kancil menoleh padaku dan kembali bicara.
“Baiklah, itu kuanggap jawaban setuju."
Aku bergeming dan kembali melihat kompas sembari berjalan. Tapi bedanya sekarang aku tidak sendirian. Dia benar-benar mengikutiku. Kukira awalnya dia hanya bergurau.
"Siapa namamu?"
"Kau bisa memanggilku Minerva."
Aku mengangguk kecil dan melanjutkan perjalanan. Dia sama sekali tidak melakukan apapun dari tadi. Kalau ingin merampokku harusnya yang dia selamatkan adalah koin emas ku.
Akhirnya hujan berhenti. Kami juga sudah sampai di Stasiun Timur. Aku melepas mantelku dan mengibaskannya cepat. Air menetes dari ujung kainnya. Rambutku basah karena hujan. Aku menenteng mantelku dan berjalan ke loket tiket. Kancil yang bernama Minerva itu juga masih ikut denganku. Kita memesan 2 tiket perjalanan ke Kingstone Raya. Kita tidak bisa pergi ke Orania menaiki kereta sekali jalan. Harus naik kapal dari Kapletyn. Satu tiket untukku dan satu lagi untuknya. Aduh punggungku pegal. Aku berjalan lima kilometer dari rumah. Serius, mengapa ada perkotaan di tengah hutan. Aku tidak tau kancil ini berjalan darimana dan bagaimana caranya dia tidak lelah.
“Kau mau kue sus?” Minerva membawa dia kue sus di tangannya.
“Apa isinya es krim?” aku bertanya
“Sayang sekali, tanpa es. Tapi aku jamin rasanya sangat enak.”
Suara gemuruh dari rel kembali. Kereta kami sudah datang. Kami segera bergegas menaiki kereta 30A-44 dan mencari kursi J5 dan J4. Aku duduk di dekat jendela. Memegang kue sus yang masih panas sembari menunggu kereta berjalan. Aku menaruh tas di samping kakiku.
Aku penasaran rasa dari kue ini. Sepertinya bentuknya lebih seperti roti. Sebesar telapak tangan. Dan uhm! Rasanya manis! Aku menggigit ujungnya dan seperti yang Kancil itu bilang ada krim di dalamnya. Berbeda dengan bakpao yang kulitnya lembut, kulit sus ini renyah dan lembut. Ya tapi aku suka semuanya. Pemandangan di luar belum terlihat karena kereta belum berjalan. Aku jarang sekali pergi keluar rumah sendirian. Untung saja aku pergi lewat jendela. Jendela keberuntungan.
"Haha, sudah kubilang kan?" Minerva tertawa melihat raut wajahku yang antusias.
"Kau tidak membawa apapun?" Aku bertanya-tanya mengapa sedari tadi kancil itu bertangan kosong–ada separuh kue sus di tangan kanannya.
"Ah! Aku membawa tas kecil disini." Minerva menjawab dengan menyibakkan jubahnya. Terlihat tas berukuran sedang berwarna coklat dengan pinggiran hijau zamrud seperti bola matanya yang mengilap terkena sinar matahari.
Kereta mulai bergerak. Semakin lama cahaya mulai menerpa masuk ke dalam gerbong. Stasiun mulai tertinggal di belakang. Aku menghabiskan potongan kue terakhir. Pemandangan yang tertutup bata merah berganti dengan pinggiran rel kereta yang dibawahnya terdapat banyak sekali kerikil. Aku dan Minerva duduk bersebelahan.
Komentar
Posting Komentar