Iya Atau Tidak
Dini hari. Dimana burung hantu pun sepertinya sudah memulai acara hariannya untuk berburu. Sayang, kepakan mereka tak bisa merayap jauh ke dalam gendang telinga milikku. Bukti bahwa mereka juga pemburu yang handal dan profesional, tak kalah dengan si jagoan yang gagah berani, Elang. Bagaimana rasanya bisa terbang bebas ya?
Berbeda dengan mereka yang asik menjelajah misteri malam, aku disini suntuk menunggu. Dengan ujung kuku yang hampir beku. Mati rasa karena kaku. Hidungku yang tersumbat sebab baru saja menangis tanpa alasan membuat suaraku jadi sesak untuk keluar. Aku bertanya-tanya apa alasan dibalik jatuhnya air yang membasahi pipiku ini. Tapi aku tak kunjung menemukannya. Kalau ketemu pun sangat konyol rasanya. Ah, tak mungkin hanya karena senang dapat kawan baru. Mana mungkin kan?
Sekarang apa? Aku masih menunggu. Setidaknya berikan jawaban atas pertanyaan ringan yang kulontarkan jauh lewat layar sentuh. Apakah aku terlalu memaksa? Tidak-tidak, tidak boleh begitu. Jadilah orang yang sabar dan pengertian. Iya-iya harus begitu. Kalau tidak nanti alasanku untuk menangis malah ketemu satu lagi.
Aku memutuskan untuk melanjutkan apa yang kumulai kemarin. Lukisan untuk temanku, yang akan berulang tahun. Karena aku adalah teman yang baik, kurasa. Jadi akan kuberikan ini sebagai hadiah untuknya. Kutaruh dirinya di tengah hamparan air tak berujung. Ditutupi kabut tipis yang menyelimuti ujung mata pandangnya. Kusandingkan wujudnya bersama dengan bunga pigmen cerah yang serasi dengan warna merah muda di helai rambutnya. Cantik.
Sekarang apa? Hingga aku menyelesaikan lukisanku pun aku belum mendapati ponselku yang berdering. Oh, ternyata mode senyap. Dia sudah menghubungi. Untuk di ujungnya mengatakan tidak. Bilang saja sejak awal, aku tak marah. Serius. Sangat serius. Tidak, aku tidak marah. Jangan salah paham oke?
Aku merapikan alat lukisku dan berjalan menuju gumpalan selimut di atas tempat tidurku yang bentuknya tidak karuan. Membenamkan wajahku yang dingin diterpa udara malam tiada ampun. Padahal sudah menutup jendela rapat. Ternyata musim dingin memang beringas.
Sekarang apa? Dia tidak akan berkunjung malam ini. Tidak ada hal yang harus kulakukan lagi di pukul tiga dini hari. Haruskah aku menutup mataku dan mengunjungi alam lain yang dipanggil sebagai mimpi itu? Aku takut kalau menjumpai hal buruk.
Sekarang apa? Yang kudengar hanyalah detik jam dinding. Juga deru napasku yang bahaya kalau aku tidak mendengarnya. Aku mencoba bergumam sendiri, menulis diari, entah apa yang penting diriku sibuk. Hingga tak sadarkan diri sampai fajar menyingsing.
– Imperia
Komentar
Posting Komentar