Lopika
"Ini serius?” gadis yang memberiku sepucuk surat, sepotong kue, dan secangkir kopi yang familiar bagiku itu mengangguk mantap. Sudah ketiga kalinya aku bertanya dan jawabannya selalu iya.
***
Bukan pertama kalinya harum manis dari beragam kue yang berjejer di dalam oven menyeruak masuk ke dalam hidungku. Penerangan dengan lampu nuansa jingga lembut membuat waktu berjalan lambat. Di luar hujan cukup deras. Sore itu awan jadi menutupi jejak pergi matahari. Aku ambil tempat duduk dekat jendela yang kalau dipegang dingin rasanya. Melihat sekeliling, aku suka pilihan furniturnya. Kebanyakan kayu. Tapi minimalis, bukan dengan ukiran fantastis khas seperti yang banyak diproduksi di kota dekat Kota Semarang dengan inisial J.
Aku pesan kopi. Butterscotch. Enak diminum saat hangat. Punya rasa gurih manis dari butter dan gula merah yang dipadu padan dengan espresso. Kau tahu? Semua jenis kopi asalnya dari espresso, nama lain dari shot asli tanpa campuran apapun. Benar-benar fresh dari grinder dan diseduh. Kalau ditambah air lagi namanya berubah menjadi americano.
Melihat sekeliling lagi, mencari apa yang harus kulihat saat menyesap kopi di kala hujan sore hari. Pintu yang di atasnya ada lonceng kecil, membuat orang yang masuk akan membuatnya berdenting riang. Barista yang mengerjakan pesanan, asik sekali melihatnya membuat macam-macam minuman. Pekerja kantoran yang memilih tempat ini jadi tempat kerjanya kalau sudah suntuk di kubikel, jari mereka cepat sekali bergerak di atas keyboard laptop. Tanaman hijau dalam pot juga ikut meramaikan tempat ini, banyak ditata di sudut-sudut ruangan.
“Satu butterscotch, aku tambahkan foam bentuk beruang seperti biasanya.” Ujarnya sembari cekatan menyodorkan gelas beserta piring kecil di bawahnya untukku. Kemudian punggungnya kembali terlihat. Sibuk sekali dia. Mungkin karena hujan jadi banyak yang menepi sebentar dan mampir.
Di apron cokelat yang Ia gunakan tertera pin keemasan bertuliskan namanya, ‘MATVEY’. Aku sudah pernah tanya dari mana orang tuanya dapat menggabungkan mat dan vey tersebut. Tapi dia malah terkekeh dan menyebutkan artinya dengan bangga: karunia tuhan. Aku yang diberi tahu hanya manggut-manggut. Benar, sepertinya aku harus berterima kasih pada mereka karena dapat wangsit dari Rusia.
Aku mengamatinya dari balik konter. Menerka-nerka menu apa yang sedang Ia buat. Selain dirinya juga ada karyawan lain, Tama. Lagi-lagi aku tahu pertama kali dari plat nama yang menempel di apron cokelat dengan logo café mereka. Dia bertugas di bagian mengambil dan membungkus kue serta menu take away. Tidak mau mengganggunya, jadi aku berusaha menutup mulutku rapat-rapat. Membendung semua pertanyaan remeh yang biasanya bisa menyelinap begitu saja tanpa izin.
Mataku pindah lagi pada Matvey. Pria berambut hitam yang dipangkas rapi dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Sesekali Ia dorong kembali pada pangkal hidungnya dengan punggung jari telunjuk. Aku bisa bilang, jangan-jangan pemilik toko menerimanya sebagai pengganti jampi-jampi penglaris—ini sebelum aku tahu ternyata mereka mengelolanya sendiri. Mungkin mereka langsung mengembalikan segala peralatan kit seserahan untuk pemula yang berisi kembang tujuh warna dan dupa kepada dukun yang buka praktek ajian ilmu di tengah Gunung Gede. Yakin kalau karyawan barunya ini akan bekerja lebih manjur.
Oke, aku harus bekerja juga. Aku bukan pengangguran yang hanya duduk-duduk disini sambil cekikikan bersama teman yang flexing kunci BMW di tangan kanan. Kenapa harus tangan kanan? Karena di tangan kiri ada jam Rolex.
Pembayaran di awal. Jadi karyawan tidak perlu punya kegiatan tambahan seperti mengejar maling. Aku bersandar di sofa empuk hijau tua. Di hadapanku ada laptop berukuran kecil. Seperti budak korporat pada umumnya, hanya saja aku punya sedikit kebebasan. Penulis novel, pekerjaan yang kerap dianggap remeh. Betul juga sih, kan kerjaannya hanya bangun–berak–nulis–ngetik–makan–lalu tidur lagi. Tapi sekarang aku di sini. Mengetik garapan terbaruku, cerita tentang gadis yang hidupnya buruk dan putus asa dalam hidup. Entahlah, aku suka asal comot topik sesuai suasana hati. Tapi kalau mengurung diri di apartemen terus menerus aku takut mati karena tidak bersosialisasi. Lalu aku menemukan tempat ini, kafé yang dekat sekali dengan gedung putih Flamboyan, tower apartemenku. Sepertinya ada yang lompat dari balkon atas kemarin. Sudah masuk berita atau pengelola apartemen sudah sumpal mulut pers dengan uang?
Jariku menari-nari diatas papan ketik. Kalau cinta dengan KBBI bisa pakai kata ini sebagai pengganti keyboard. Dialog dan kejadian yang mengalir seperti menonton film muncul begitu saja dalam pikiranku. Itu semua karena aku sudah rajin menulis layout. Jadi sekarang tinggal eksekusi saja.
“Croffle-nya.” Perkataannya memecah imajinasiku. Kegiatanku terhenti sejenak.
“Ah, iya. Aku lupa tadi pesan ini.”
Lagi-lagi Ia menekan kacamatanya dengan telunjuk. “Sibuk banget kayaknya, semangat kejar deadline-nya, ya.”
Aku terkekeh. “Makasih.”
Basa-basi singkat. Tapi aku bisa melihat senyumnya sebelum tenggelam tergantikan oleh pemandangan punggungnya. Oke, fokus kembali ke pekerjaan, apa benar ini pekerjaan ya?
Di sela-sela mengetik sesekali aku menengok ke kanan. Jendela yang cukup luas terpasang disana. Menampilkan panorama pemandangan jalan. Ini lantai dua. Kalau jendelanya ada di bawah nanti yang terlihat hanya tembok plester gang sempit. Sebenarnya aku juga tidak menyangka bisa menemukan kafé kecil ini di Jakarta Selatan yang padat. Maksudku, harusnya kan banyak pilihan lain yang berjajar. Tempat perkopian lain yang punya banyak cabang, yang sangat terkenal sampai-sampai kalau tanya dengan orang yang tinggal di ujung Pulau Jawa dia sudah familiar dengan tajuk franchise-nya.
Aku menggigit croffle yang kupesan tadi. Bonus es krim satu scoop lagi, karena aku keseringan datang. Jadi pelanggan loyal katanya. Matvey dan Tama tak segan-segan menyendokkan gundukan es krim besar untukku. Karena penasaran, aku pernah tanya—baru kemarin—pada Matvey, katanya Tama adalah sepupunya. Dan mereka memutuskan untuk buka usaha bersama. Ah, satu jam berlalu, tak terasa aku sudah merampungkan mengetik satu babak ceritaku. Tanganku kembali menyendok croffle dengan saus cokelat diatasnya, beserta tiga scoop es krim neopolitan yang sedari tadi aku agung-agungkan, yang sekarang sudah meleleh. Kalau terus-terusan membahas makanan aku rasanya terlihat seperti orang rakus.
***
Lonceng pintu berdenting. Pudar suaranya digantikan oleh kehadiranku ke dalam bangunan 5x7 ini. Walau harus rela naik tangga kecil untuk sampai kesini, tapi aku yakin tempat ini dapat membayar semua penat yang tersusun sejak pagi.
“Sore, Matvey.”
Manik kehitamannya tertuju padaku, raut mukanya jadi cerah karena senyum hangatnya. “Sore juga.”
Aku duduk di kursi depan konter. Toh, sekarang masih kosong, hanya ada satu orang yang terlihat di pojokan. Sekarang pria yang ada di hadapanku ini juga sudah selesai menyapu sela-sela kolong meja. Maka dari itu sekarang aku bisa mengangkat tanganku ke depan wajahku.
“Kuku baru ya?”
“Iya, rate dong.”
“Hmm… loreng cheetah oke juga ternyata. Ga sia-sia aku kalah di taruhan kita kemarin.” Celetuknya sembari mengamati kukuku di sepuluh jari tangan dengan seksama. Kukuku yang baru saja dipoles. Dominan motif kulit macan dan merah maroon.
Aku melirik padanya. “Kamu orang Jakarta kok ngomongnya bukan lo-gue?” Asal lempar pertanyaan.
“Aku kan bukan asli sini.”
“Terus yang orang sini siapa? Tama?” Ujarku sambil menunjuk ke dapur. Aku yakin dia sedang memanggang kue disana.
Matvey jadi ikut menengok ke arah tirai dapur lalu mengangguk, “Betul.”
“Tapi dia juga ga pake lo-gue.”
Matvey mengedikkan bahu. “Emang, kayaknya ga cocok juga kalau dia begitu.” Lagi-lagi dia menengok ke belakang konter, tirai dapur. “Mukanya kan aesthetic.”
Aku mengangguk saja. Separuh setuju karena memang fakta, separuh tidak karena penyampaiannya aneh. Menaruh lenganku di atas konter. “Rekomendasikan kopi lain dong.”
“Hmm.. apa ya.” Matvey berpose pura-pura berpikir dengan telunjuk di dagu. “Gimana kalau americano robusta?”
“Bukannya itu pahit ya?” Aku menaikkan satu alisku. Tidak percaya.
Tapi tangan Matvey sebagai barista cekatan langsung memasukkan biji kopi robusta ke dalam grinder. Selang satu menit dia menyajikannya di cangkir putih. Lalu menuangkan air hangat agar mengurangi tingkat kepekatannya. Tidak butuh waktu lama karena dia pakai mesin espresso, dibandingkan kalau pakai french press yang memakan waktu tiga sampai lima menit.
Ragu-ragu aku mendekatkan ujung cangkirku ke dekat bibir. Masih panas, uapnya mengepul. Aku memutuskan untuk minta sendok kecil dan menyeruputnya perlahan. Sedetik hening.
“Pahit. Jadikan cappuccino saja.”
Matvey tertawa. Tapi dia segera menumpahkan isi cangkir tersebut ke dalam gelas besar plastik lalu ditambah susu. “Pakai es?”
“Ya.” Setelah memelototi daftar menu, jemariku meraih dompet nyentrik yang lagi-lagi loreng macan tutul dan merogohnya. Kusodorkan kombinasi kertas hijau, cokelat muda, dan dua abu-abu sebesar nominal dua puluh sembilan ribu rupiah diatas konter. Total yang ganjil. Mungkin kalau satuannya delapan kurang tapi kalau jadi nol terlihat mahal. Untuk ukuran Jakarta sebenarnya terbilang murah.
Pelanggan mulai berdatangan lagi satu persatu. Jadi aku bergeser ke etalase kue. Tama sedang menyusun berbagai dessert setelah keluar dari dapur.
Aku bertanya dari depan kaca etalase. “Kue spesial hari ini apa?”
Tama menunjuk kue beberapa lapis yang punya lapisan cokelat di paling atas. “Ini, opera cake. Mau coba?”
“Mahal ga?” Tanyaku sambil melirik tangan Tama yang meletakkan nominal harga bertuliskan ‘39.000 /slice’ lalu Ia kembali menata kue yang lain.
Aku tahu aku harus berhemat. Tapi opera cake di depan mata ini sangat menggiurkan. “Aku mau satu.”
Tama meng-oke kan pesananku, setelah selesai menyusun semua kue di etalase dia membungkus opera cake milikku. Ah, borosnya aku hari ini. Tapi kue spesial Tama ini tidak akan ada setiap hari seperti cheese cake atau sourdough. Jadi aku mau tidak mau harus membelinya. Ini akal-akalan barat! Tama jangan-jangan adalah mata-mata dari barat, atau Westalis kalau dia hidup di lore Spy X Family. Sungguh, aku bisa membayangkan dia berpartisipasi dalam misi perdamaian dunia dengan proker satu rumah satu tiramissu.
***
Aku mengintip dari kaca yang ada di pintu. Melihat hanya ada Tama di dalam. Tokonya tutup. Kalau melihatnya dari plang close yang tidak mereka balik jadi open. Ayolah, ini hari Kamis. Jadwal mingguanku untuk pergi ke sini. Aku ketuk kacanya. Mencoba mengambil perhatian Tama yang sedang menulis sesuatu di kertas.
Berhasil, Pria itu menoleh ke arahku. Dia nampak menghela napas lalu membukakan pintu.
“Um, tidak apa kalau aku masuk?”
Tama mengerutkan dahi. “Kita tutup hari ini.”
“Jadi tidak boleh masuk?”
“Kenapa kau pakai bahasa baku?” Pria itu menatap baju yang kupakai hari ini. Rok selutut dengan renda. Baju berkerah bersama dengan dasi yang dimodif menjadi bentuk bunga lalu dikunci oleh bros permata merah. Bukan pertama kalinya aku pakai baju heboh seperti pakai dua sabuk kulit dengan hiasan tengkorak emas.
“Entahlah, bukankah kau yang sering tampil untuk pertunjukkan teater lebih tahu?”
Lagi-lagi Ia menghela napas, pipinya merah jambu. Aku sempat mendengarnya bergumam tipis—sepertinya memaki—sebelum berbicara lagi.
“Baiklah, Nona. Apakah kau tidak bisa membaca?” Aku terkejut menyadari bahwa Tama setuju bermain peran denganku. “Lihat tulisannya, CLOSE dalam bahasa Inggris artinya tutup.” Sialan, dia mengejanya. Aku bukan anak TK lagi.
“Kami mau tambah menu hari ini, makanya tutup.” Asal suara itu membuatku menoleh ke belakang. “Uji coba formula resep.” Matvey menambahkan. Ia lalu membukakan pintu café yang sedari tadi dijaga seperti anjing rumahan oleh Tama. “Ayo masuk, khusus pelanggan setia hari Kamis.”
Aku menyeringai sambil menatap Tama. “Baik, Tuan. Anda tahu sekali jadwal minum tehku.”
“Eh apa?”
“Matvey, jangan hiraukan dia. Dia orang gila.”
Aku melenggang masuk mengekori Matvey. Tama yang di belakang jadi dapat tugas tambahan yaitu menutup pintu. Aku duduk di kursi yang ada di dekat mereka. Mengamati kedua pria yang akan mulai berdiskusi di meja paling besar di tengah ruangan. Tidak, sebenarnya itu beberapa meja yang digabungkan jadi satu. Aku mengamati tulisan tangan rapi Tama. Dia menuliskan rencana resep-resep baru. Kalau dari yang aku curi dengar, sepertinya mereka sudah memulai perbincangan ini sudah sejak dua bulan lalu. Dalam catatan itu juga tertulis komposisi dan harga masing-masing menu. Di atas meja juga dihamparkan bahan-bahan yang Tama tulis. Matvey mulai mencampurkan beberapa. Mungkin untuk tester. Tama menyelinap ke dapur sejenak. Sedangkan Matvey masih sibuk bersama grinder kopi tersayangnya.
“Kamu ga kerja?”
Aku menggeleng. “Aku writer block kayaknya. Ga bisa nulis apa-apa.”
“Bisa gitu ya ternyata?”
“Emang barista gabisa coffee block?” Pertanyaan bodohku malah menuai tawa dari Matvey. Sampai-sampai dia menitikkan air mata.
“Maksudnya.. maksudnya ga bisa nyeduh kopi gitu?”
“Ya, gitu deh. Kurang lebih.”
Matvey melambaikan tangannya. “Ga, ga ada. Lagian ini kan kerja, suka ga suka juga harus tetep kerja.”
“Kenapa?”
“Pake nanya. Butuh sesuap nasi dan mencari rezeki lah. Kali tiba-tiba ngidam berlian juga bisa.”
Kali ini giliran aku yang tertawa. Tapi terpotong di tengah-tengah karena Tama menyela obrolan kami dengan nampan berisi empat kue yang berbeda-beda bentuk.
Yang pertama ada slice kue cokelat dengan bubuk matcha, Matvey menyendok ujungnya dan ternyata luarannya adalah lapisan cokelat tipis. Renyah bunyinya saat hancur. Isiannya selain roti ada krim dan stroberi. Tama mengizinkanku untuk icip-icip sebagai perwakilan pengunjung, aku merasa terhormat. Ternyata krimnya manis dan lembut. Ada juga serpihan kacang almond yang meramaikah lidah. Mereka sepakat memberi nama yang satu ini ‘Hidden Berry’, karena seperti mencari harta di dalam tanah—lapisan kue cokelat dan hartanya adalah stroberi merah yang segar.
Kedua, klapertart tapi fancy. Tersaji dengan kismis di atasnya, gurih manis menyebut hadir sambil mengangkat tangan saat diabsen oleh gigiku. Aluminium yang dipakai juga bentuk hati. Matvey cocornya ngawur dan bilang target pasar yang dikejar Tama adalah pasangan kasmaran. Pernyataan yang palingan tidak benar itu langsung ditepis jauh oleh yang korban bualan besar Matvey.
“Tapi bisa juga loh, bisa-bisa toko kalian terkenal gara-gara ramai orang first date.” Aku nyengir. “Terus menu ini jadi sering dibeli buat anniversary.”
“Tuhkan, ini tuh bisnis!” Matvey yang opininya terhina oleh Tama jadi sakit hati.
Tiga, Mille Crepes. Tama coba-coba mengasah kesabaran dengan membuat kue yang mengandalkan layering seperti ini. Rencananya dia akan buat beberapa rasa. Tapi mungkin tidak akan masuk menu utama karena susah dibuat. Kemungkinan besar akan masuk daftar menu spesial kejutan yang tidak pasti tanggalnya. Suka-suka saja.
Empat, ah, tukang rujak langgananku sudah mangkal. Aku bilang akan melaksanakan quest mingguan lainnya pada mereka berdua dan Matvey titip pesan rahasia yang berisi: “Rujak serut satu.” Aku sebagai agen handal langsung meluncur bersama aksesorisku yang di setiap langkah bisa bunyi gemerincing. Senjata transaksiku adalah uang kertas ungu dua lembar. Satu milikku dan satunya titipan sekutu.
Sebagai badan intelijen top, aku langsung minggat setelah mendapatkan apa yang kupesan dari markas lawan. Melaporkan situasi di sana dan menyerahkan barang bukti, rujak serut. Ternyata kue yang terakhir adalah pai apel. Tama memotongnya segitiga seperti biasanya. Dia membiarkanku untuk mencicipi. Kulitnya renyah, isian apel yang asam dibalut gula menambahkan kesan nano-nano yang pas. Matvey juga mengeluarkan es krim vanilla dari kulkas. Menambahkannya pada rujaknya dan pada pai apel di piring. Hm, ini perilaku psikopat. Tapi setelah aku ikut mencicipi rujak yang terkena nuklir scoop es krim vanilla itu sebenarnya tidak terlalu buruk.
Aku akhirnya pulang, setelah membungkus tester yang sukarela Tama beri. Katanya takut basi kalau lama-lama di kulkas. Mereka berdua sepertinya sudah muak harus gigit-gigit uji coba resep. Dan mereka tidak terlalu rakus seperti aku. Aku menenteng tas yang mereka beri di jalan pulang. Sesekali bersenandung sambil menendang batu.
***
Aku datang agak lebih pagi dari biasanya. Ada yang aneh. Semuanya terlihat asing. Ini rasanya seperti bukan tempat yang familiar. Banyak pajangan yang diganti. Yang berdiri di belakang meja konter juga bukan pria kacamata dengan nama Rusia yang kukenal.
“Permisi, mau tanya kak. Nama kakak Arimbi bukan ya?” Perempuan yang berdiri di belakang konter itu buka mulut.
Aku diam terpaku. Bagaimana bisa dia tahu?
“Kak Tama titip sesuatu.” Dia menyodorkan sepotong opera cake dan secangkir butterscotch dengan foam bentuk telinga beruang.
“Ini kue buatan Kak Tama, yang ini dari Kak Matt.” Dia menunjuk keduanya bergantian. “Mereka berdua sudah terbang ke Moskow tadi subuh.”
Demi melihat raut wajahku yang setengah tak percaya, dia jadi kasihan agaknya, jadi dia bilang “Aku akan ceritakan semuanya.”
Dia menepati janjinya. Meletakkan apronnya sejenak lalu duduk berhadapan denganku yang sedang masih cengo mencerna keadaan, menyusul mejaku yang berada tak jauh dari konter. Termenung sejenak.
“Pertama-tama, aku minta maaf. Aku tahu ini sangat mendadak, tapi aku juga baru mengetahuinya.” Dia berbicara perlahan-lahan.
Sesekali Ia mengusap-usap telapak tangannya sendiri. “Sekarang mereka sudah di Moskow, pulang mendesak karena Ayah Kak Matt baru saja meninggal. Kak Matt sepertinya tidak akan pulang dalam waktu dekat. Dia berencana melanjutkan kuliah di sana.”
Terdiam sejenak. Sampai-sampai suara detik jam dinding rasanya terdengar olehku. “Moskow itu jauh sekali. Memang, tidak mudah mendengar ini tiba-tiba. Apalagi kalian dekat.”
Hening sejenak. Dia menarik napas cepat, berusaha menghibur.
“Tapi mereka juga menitipkan nomor telepon.”
_____________________________________________________
BIONARASI
Punya nama pena HysteriaSsou, atau yang keluar dari mulut teman seperti Cip, Mir, hingga Kru. Hobi membual dalam bentuk teks lalu jadi cerita macam-macam yang dari langkah pertamanya adalah buang otak. Mulai melihat dunia sekitar pertengahan 2009. Genre favorit biasanya thriller tapi kali ini dia chill—obatnya belum habis. Kerap memberi makan lapak instagram, dijamin perutnya penuh dengan gambar digital. Tidak percaya? Cek sendiri di @bozudesu.
Komentar
Posting Komentar