Lunch Break

Aku mengambil langkah ringan dengan riang. Jalan setapak yang familiar dengan telapak kakiku. Walau tentu aku memakai alas kaki, tapi saking seringnya berkunjung, aku jadi hafal sekali rasanya berjalan disini. Atau mungkin juga wajah yang akan kulihat setelah ini di ujung jalan, tempat yang kutuju berada.

Kubuka pintu kayunya pelan. Wangi yang lagi-lagi agak aneh rasanya muncul dari sebuah perpustakaan selain aroma buku dan furnitur kayu. Kulihat orang yang kunanti. Sedang menata buku, fokus sekali kelihatannya. Jarang-jarang juga aku melihatnya menggantungkan bingkai kacamata di wajahnya. Tapi kalau dipakai dia benar-benar seperti kutu buku sejati. Kupandangi punggungnya, kira-kira apa yang harus kulakukan? Sepertinya dia tidak sadar juga aku telah menyelinap masuk kesini.

Kuputuskan maju mendekat perlahan. Dia masih belum menyadarinya, apa karena sol sepatu yang kupakai tergolong super empuk sampai langkahku menyamai kucing rumahan milik rumah orang kaya yang ada di seberang jalan? Tapi apa yang harus kulakukan padanya ya? Peluk? Sepertinya berlebihan, kita tidak—belum—pernah melakukannya, aku takut dia kaget atau tidak nyaman lalu melemparkan buku-buku tebal yang Ia pegang sekarang ke wajahku. Tutup matanya dari belakang dan tanya ‘Siapa gerangan ini?’ Sangatlah klise. Bagaimana kalau kutepuk saja pundaknya seperti orang normal pada umumnya dan bilang ‘Um, hai, Tooru. Ini aku, Lucien.’ Aku benci bagaimana kalimat tolol itu akan terdengar di telingaku sendiri. Merinding.

Saat aku belum selesai beradu mulut dengan pikiranku sendiri, orang yang kupelototi dari belakang tadi berbalik arah kepadaku. “Lucy? Sejak kapan kau datang?” Dia sedikit terkejut. Bola matanya jadi membesar beberapa milimeter. 

“Tidak lama.” Hening. “Baru saja.” Setelah itu tawa canggung keluar secara garing dari mulutku. 

“Aku baru saja selesai. Kau datang di waktu yang tepat.” 

“Begitu?” Aku mengusap-usap ujung rokku sendiri. “Maksudku, ini jam makan siang. Jadi.. kalau tidak keberatan.. Ah! Tidak! Ayo makan siang bersama!” Sepersekian detik aku melupakan personaku yang blak-blakan dan tiba-tiba menjadi pemalu yang gagap. Apa-apaan, orang ini penyihir ya?

“Tapi aku tidak lapar.”

“Tidak mungkin!” Mana ada orang waras yang bilang dengan lantang mereka tidak lapar tapi punya tangan kurus dan kulit sepucat kertas seperti itu. 

“Aku sudah minum kopi tadi.” 

“Kopi apa?”

Espresso.”

Aku ternganga. Bisa-bisanya. “Benar-benar deh. Ayo ikut!” Mau tidak mau aku harus menyeretnya keluar. Kutarik lengannya—memastikan tidak sekeras itu agar tulangnya tidak ikut remuk—sepanjang jalan menuju pintu keluar. Pintu kayu itu berderit lembut untuk yang kedua kalinya saat kudorong. Dia sempat menaruh papan bertuliskan ‘ON BREAK’ dan mengunci pintu sebelum mengikutiku keluar.

“Ah.. silau.” Dia menutupi akses sinar matahari ke wajahnya dengan telapak tangannya. 

“Itulah yang akan terjadi kalau kau terus-terusan tinggal di rumah vampir.”

“Tapi aku tinggal di perpustakaan.”

“Itu bukan makna sebenarnya, astaga.” Aku mengeratkan peganganku pada lengannya. Membuat jarak diantara kami semakin kecil. 

“Lucy?” 

“Apa?”

Dia melepaskan tanganku dari lengan kanannya dan menukar posisinya menjadi di luar jalan pejalan kaki. Setelah itu dia meletakkan lagi tanganku padanya pada lengan satunya. 

“Ini untuk apa?”

“Tata krama dasar sepertinya?”

Aku mendengus pelan—bukan kesal. Tapi rasa-rasanya aneh kalau orang selemah ini berniat untuk melindungiku. Aku justru lebih mencemaskan dirinya kalau terjadi apa-apa di jalan. Tapi aku akan bertanggung jawab! Aku yang membawanya keluar sarang jadi apapun yang terjadi aku akan memastikan dia aman walau sampai titik darah penghabisan! Heh, itu berlebihan. Tidak akan ada apa-apa di jalan yang relatif sunyi ini. Tidak ada juga toko perhiasan di sekitar sini. Jadi tidak ada hal yang membuat komplotan maling wara-wiri. 

“Sebentar, kita belum menentukan mau makan siang dimana.”

Aku tersadarkan dari lamunanku. Dan berpikir sembari berjalan. “Aku ingin tempat yang punya onion ring di menu mereka.”

“Restoran cepat saji?”

“Jangan.”

“Ah, aku tahu maksudmu.” Dia mempercepat langkahnya sedikit. Yah, seharusnya dia yang paling tahu daerah sekitar sini kan?

***

“Kau pernah kesini sebelumnya?” Aku bertanya tanpa melepaskan pandangan dari buku menu—walaupun sudah pesan. 

“Belum, ini pertama kalinya.” Dia melepas kacamatanya.

“Oh, lalu bagaimana caranya kau tahu?” 

Dia melirik ke arahku. Mata kita bertemu. “Di era modern sekarang ada teknologi yang bernama peta digital.”

Kenapa dia memberitahu hal itu seperti sedang bicara dengan manusia purba sih? Eh, pesanan kita datang.

Aku bersorak dalam hati. Ayam krispi tanpa tulang dengan saus asam manis di atasnya, onion ring yang terlihat renyah, potato wedges, dan burnt cheesecake sebagai penutup. Untuk minumnya air putih saja. Kupikir menghabiskan uang di minuman itu akal-akalan barat.

Aku lihat piring milik pria yang ada di seberang meja. Dia pesan fish and chips, hanya itu. Entah karena memang tidak banyak makan atau agar tidak banyak pengeluaran. 

Tidak banyak obrolan kami di meja makan. Karena kami berdua fokus di piring masing-masing. Sepertinya cheesecake-nya akan kubawa pulang saja nanti. Seperti yang kuharapkan, ayamnya krispi di luar dan juicy di dalam. Saus yang mereka buat juga sangat cocok dan layak tersaji dengan dagingnya. Terasa segar, mungkin karena ada campuran tomat dan jeruk nipis. Well, sebenarnya aku makan apa saja sih. Oiya, ada mayonaise juga di pinggir piring. Kucocol bersama wortel dan kol yang dipotong tipis-tipis. 

Oke, selesai di hidangan utama. Sekarang tanganku menggerayangi onion ring yang aku tunggu-tunggu. Gigitan pertama jadi penentu. Gila… ini gila banget… aku sampai berdoa pada tuhan agar siapapun yang memasak ini agar masuk surga nanti. Renyah, tapi tidak kering karena tentu banyak minyaknya, tapi tidak berlebih, pas. Lalu saus keju yang mereka buat juga tidak kalah mantap dari saus ayam asam manis sebelumnya. Creamy dan gurih. Sungguh, ini benar-benar berbunyi kres kres kres setiap gigitan dan kunyahan. 

Aku melihat piring miliknya yang sudah kosong, lalu melirik wajahnya. Mataku kembali pada piringku sendiri yang hanya ada satu  onion ring yang tersisa. Dia menangkap sorot mataku. “Mau?”

Awalnya dia sempat berpikir. Tapi ayolah, buat apa berpikir untuk menentukan akan makan sepotong onion ring atau tidak? Akhirnya Ia mengangguk. “Boleh.”

Aku menusukkan garpu pada potongan terakhir bawang bombay yang dicelup tepung lalu digoreng itu dan mencocolnya dengan saus. Kemudian kuarahkan garpu itu kearah mulutnya. “Buka mulutnya.”

Dia terdiam sejenak. “Ini tidak bisa dengan tanganku sendiri saja?”

“Tidak.”

Dia masuk perangkap. Ragu-ragu, akhirnya membuka mulutnya dan segera Ia dapatkan onion ring terakhir itu. Menunggunya mengunyah dan mencerna situasi yang terjadi, aku meletakkan garpu di piring kosong dan mengeluarkan kotak bekal kosong dari tas yang kubawa.

Pria dihadapanku ini jadi mengernyit. “Itu untuk apa?”

“Membungkus cheesecake."

“Kenapa tidak makan disini?”

“Kenapa? Kau ingin disini bersamaku lebih lama?”


—HysteriasSou


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan

Iya atau Tidak

Sleep Tight